Konflik geopolitik antara Iran dan Israel menimbulkan kekhawatiran global, termasuk bagi Indonesia. Potensi dampaknya terhadap perekonomian nasional, khususnya sektor industri, menjadi perhatian serius pemerintah.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan perlunya langkah antisipatif untuk meminimalisir risiko tersebut. Ia meminta industri dalam negeri untuk bersiap menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul.
Mitigasi Risiko Gangguan Rantai Pasok dan Kenaikan Harga Energi
Salah satu risiko utama adalah gangguan pada rantai pasok global. Banyak jalur logistik dan ekspor melewati Timur Tengah, wilayah yang saat ini sedang dilanda konflik.
Ketergantungan industri dalam negeri terhadap energi impor, baik sebagai bahan baku maupun komponen produksi, juga menjadi perhatian serius. Efisiensi penggunaan energi menjadi kunci untuk mengurangi dampak negatif.
Menperin mendorong diversifikasi sumber energi. Penggunaan energi terbarukan perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor dari Timur Tengah.
Pemerintah juga mendorong sektor manufaktur untuk berkontribusi dalam ketahanan energi nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan memproduksi mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi terbarukan.
Antisipasi Gejolak Nilai Tukar dan Inflasi
Perang Iran-Israel berpotensi memicu gejolak nilai tukar mata uang. Hal ini akan berdampak pada inflasi harga input produksi dan penurunan daya saing ekspor.
Menperin mengingatkan pentingnya mitigasi terhadap gejolak nilai tukar ini. Penggunaan fasilitas Local Currency Settlement (LCS) dari Bank Indonesia (BI) dapat membantu mengurangi dampak negatifnya.
LCS memungkinkan transaksi perdagangan internasional dilakukan menggunakan mata uang lokal. Hal ini dapat mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar dan melindungi industri dari inflasi.
Hilirisasi Produk Agro: Strategi Ketahanan Pangan
Di sektor pangan, hilirisasi produk agro menjadi strategi kunci. Konflik internasional telah meningkatkan biaya logistik, inflasi global, dan gejolak nilai tukar dolar AS.
Ketiga faktor tersebut meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor. Hilirisasi akan mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Pemerintah mendorong industri manufaktur untuk memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan dalam negeri. Langkah ini akan menciptakan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Inovasi teknologi produksi pangan yang efisien juga perlu didorong. Hal ini akan meningkatkan produktivitas dan daya saing produk pangan Indonesia di pasar global.
Kesimpulannya, pemerintah mendorong industri dalam negeri untuk mengambil langkah proaktif dalam menghadapi potensi dampak negatif perang Iran-Israel. Efisiensi energi, diversifikasi sumber energi, hilirisasi produk agro, dan pemanfaatan LCS menjadi strategi kunci untuk menjaga daya saing dan ketahanan ekonomi nasional. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat meminimalisir dampak negatif konflik geopolitik dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil.