Pernyataan Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, yang menyebut isu kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Pulau Gag sebagai hoaks, menuai kontroversi. Klaim tersebut bertentangan dengan temuan investigasi terbaru yang menunjukkan adanya indikasi kerusakan lingkungan signifikan di wilayah tersebut.
Pernyataan Gubernur tersebut disampaikan setelah kunjungan bersama Menteri ESDM ke Pulau Gag. Namun, temuan pihak lain menunjukkan realitas berbeda di lapangan.
Klaim Gubernur Papua Barat Daya: Hoaks atau Fakta?
Gubernur Elisa Kambu menegaskan bahwa kegiatan pertambangan PT Gag Nikel (GN) di Pulau Gag telah sesuai aturan dan tidak merusak lingkungan. Ia menyebut video yang beredar menunjukkan laut berwarna coklat sebagai rekayasa, menyatakan air laut di Pulau Gag sebenarnya berwarna biru saat ia berkunjung.
Pernyataan ini langsung dipertanyakan berbagai pihak, mengingat bukti-bukti kerusakan lingkungan yang bermunculan dari berbagai sumber independen.
Bukti Kerusakan Lingkungan di Pulau Gag: Investigasi dan Analisis Citra Satelit
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan indikasi pelanggaran dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, termasuk di Pulau Gag, dalam konferensi pers di Jakarta. PT GN beroperasi di area seluas 6.030 hektar, sebuah pulau kecil yang termasuk dalam kawasan hutan lindung.
Meskipun aktivitas pertambangan PT GN diizinkan berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004, operasi tersebut bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pulau Gag, dengan luas sekitar 6.300 hektar, dikategorikan sebagai pulau kecil menurut UU 1/2014.
Analisis citra satelit dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan deforestasi seluas 262 hektar di Pulau Gag antara tahun 2017 dan 2024. Sedimentasi dari aktivitas pertambangan telah merusak wilayah pesisir dan mengancam terumbu karang di Raja Ampat.
Citra satelit Sentinel 2 dari Program Copernicus memperlihatkan dengan jelas pembukaan lahan yang signifikan di Pulau Gag, mulai terlihat sejak 2018 dan terus meluas hingga 2025. Perubahan warna lahan dari hijau menjadi coklat sangat kentara.
Foto-foto dari liputan “Ekspedisi Tanah Papua” Kompas pada Juni 2021 juga mendukung temuan ini, menunjukkan pembukaan lahan untuk aktivitas pertambangan dan dampaknya terhadap lingkungan.
Kesaksian Warga dan Dampak Lingkungan yang Nyata
Senen Maktublok, warga Pulau Gag, mengungkapkan dampak langsung aktivitas tambang terhadap kehidupan sehari-harinya. Ia menceritakan perubahan lingkungan yang drastis, termasuk pencemaran air laut dan hilangnya sumber mata pencaharian.
Senen menjelaskan bahwa lumpur dari sedimentasi telah mencemari pesisir, mengakibatkan perubahan warna air laut saat hujan, dan menghilangnya ikan-ikan di sekitar dermaga bongkar muat material nikel. Kehidupan nelayan setempat sangat terdampak.
Kesaksian warga ini memperkuat temuan investigasi dan analisis citra satelit, menunjukkan dampak nyata aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
Kesimpulannya, pernyataan Gubernur Papua Barat Daya yang menyebut isu kerusakan lingkungan sebagai hoaks patut dipertanyakan. Bukti-bukti dari berbagai sumber independen, termasuk investigasi Kementerian Lingkungan Hidup, analisis citra satelit, dan kesaksian warga, menunjukkan adanya kerusakan lingkungan yang signifikan di Pulau Gag akibat aktivitas pertambangan nikel. Perlu dilakukan investigasi lebih lanjut dan langkah-langkah konkret untuk melindungi lingkungan dan masyarakat di Raja Ampat.